kalau bicara tentang sahabat, pastinya kalian pernah ataupun masih memilikinya. nah pada cerpen kali ini, saya menggambarkan mana sahabat yang tulus dan tidak... penasaran? langsung baca aja deh! selamat membaca..! don't forget to share and like it! semoga menarik^^
Arti
Sahabat
Terik
mentari yang menyengat, air yang bercucuran di wajah, semua tak ku hiraukan.
Hari ini aku akan bertemu sahabatku, sahabat yang sangat kusayangi, dan kami
telah berjanji untuk bertemu di taman kota pukul 12 siang, untuk itu aku harus segera
cepat. Tak henti-hentinya aku mengayuh sepeda, rasa penat yang menghampiri
segera kutepis dengan membayangkan senyuman dari sahabatku.
Namaku
Rani, seorang wanita kelahiran Bengkulu dengan kulit sawo matang yang khas. Aku
mempunyai seorang sahabat yang bernama Mitha. Mitha juga berasal dari kota
Bengkulu, sama sepertiku tapi dia memiliki kulit yang putih, berbeda denganku.
Bagi kami itu bukanlah sebuah masalah.
Citttt…
suara rem sepedaku yang berhenti mendadak.
“Akhirnya
sampai juga,” ucapku lega. Lalu kulihat jam tanganku dan ternyata sekarang
sudah pukul 12.00, tapi aku belum melihat Mitha disana.
“Hmm,
mungkin dia sedang di jalan,” pikirku. Dan akhirnya kuputuskan untuk
menunggunya.
Waktu
pun berlalu, 15 menit sudah aku menunggu Mitha, tapi dia tak kunjung datang.
“Mungkin
dia sedang di jalan, sabarlah sedikit Rani,” pikirku kembali. Dan aku kembali
menunggu.
“Maaf
dik, anda sedang menunngu siapa?” Tanya salah seorang satpam kepadaku.
“Saya sedang menunggu teman, emangnya ada apa pak?” tanyaku kembali.
“Saya sedang menunggu teman, emangnya ada apa pak?” tanyaku kembali.
“Sekarang
sudah pukul 4 sore, dari siang tadi saya melihat adik terus berada disini, saya
pikir mungkin ada yang bias saya bantu?”tawar satpam itu padaku.
“Oh
tidak ada pak, terimakasih,” jawabku.
“Ya
sudah kalau begitu, tapi lebih baik adik cepat pulang nanti dicariin ibunya,”
saran pak satpam itu.
“Baiklah
pak, terimakasih sekali lagi,” jawabku lagi. Tak kusangka, aku telah menunggu
Mitha selama 4 jam. Aku sudah lelah dan kuputuskan untuk pulang ke rumah.
Rasa
yang lelah ini tak dapat kutahan terlalu lama, akhirnya sesampai di rumah aku
segera membaringkan badan ke kasur.
“Huft,
hari yang benar-benar melelahkan” ucapku. Aku mulai mengingat-ingat kejadian
tadi siang. Aku tak pernah membayangkan hal ini akan terjadi. Tak seperti
biasanya Mitha tak menepati janjinya. Ah sudahlah pikirku, mungkin ada sesuatu
yang penting sehingga Mitha lupa akan janji pertemuan dengan sahabatnya. Aku
memejamkan mata.
“Hey
Rani, apakah kamu sudah tahu sekolah kita punya murid baru?” Tanya Ririn
mengagetkanku.
“Hmm,
belum,” jawabku sambil melirik ke sekitar.
“Ah
kamu Ran, selalu aja ketinggalan informasi. Makanya update dong!” jawab Ririn kesal.
“Iya
iya,” ucapku pasrah.
Hari
ini aku merasa terlalu lelah untuk mencari tahu ataupun memikirkan sesuatu yang
sama seperti kalian, bagiku itu hanya buang-buang waktu. Dan waktu yang
berharga itu aku manfaatkan untuk membaca buku pelajaran matematika.
Semua
murid sudah duduk rapi pada posisinya masing-masing. Erna sang ketua kelas
segera mengomando kami teman-temannya agar siap untuk memulai pelajaran.
“Bangun! Ucap salam!” seru Erna lantang. Dan kamipun mengikuti apa yang
diperintahkannya. “Selamat pagi bu Siti,” seru kami bersamaan. Yah, beginilah
cara kami memulai pelajaran.
Tidak
lama kemudian, masuklah seorang gadis berkulit putih dan berambut hitam pekat.
Seketika kelas menjadi gaduh. Bu Siti segera memberi komando agar murid-murid
tetap tenang.
“Baiklah
semua, kita mempunyai anggota kelas baru. Namanya Saskia dia berasal dari
Jakarta,” ucap bu Siti seraya memperkenalkan murid baru tersebut.
“Ibu
harap kalian semua dapat berteman baik dengan Saskia. Saskia duduk disebelah
Dodi saja, silakan.” Ucap bu Siti dengan senyum ramahnya.
Saskia
hanya mengangguk dan segera berlalu dari hadapan bu Siti.
Ibu
Siti memulai pelajarannya. Bahasa Inggris adalah pelajaran yang tak kusukai.
Aku tak tahu pasti mengapa aku tak menyukai pelajaran ini. Aku lebih memilih
pelajaran matematika sebagai pelajaran terfavorit. Walau begitu, aku berusaha
tetap memperhatikan ditengah rasa gelisah entah karena apa.
Bel
istirahat berbunyi. Kakiku terasa berat untuk melangkah menuju kantin. Akhirnya
kuputuskan untuk tetap berada di dalam kelas. Teman-teman sibuk bertanya kepada
Saskia, tidak hanya dari kelasku bahkan dari kelas lain pun banyak yang dating
untuk berkenalan dengan Saskia. Sepertinya mereka yang berkenalan dengan Saskia
merasa bangga, karena telah berkenalan dengan orang Jakarta yang terkenal elit.
Tapi itu semua tak berlaku bagiku. Aku menganggap semua orang sama.
Pelajaran
terakhir pun dimulai. Wajahku tampak berserk-seri, karena pelajaran selanjutnya
adalah matematika. Tidak sepertiku wajah teman-temanku tampak tak bersemangat.
Terdengar
suara langkah kaki bu Dewi. Aku segera mengeluarkan buku paket dan buku tulis
dari dalam tas. Erna segera berdiri dan melantangkan suaranya. Dan kamipun
mengikutinya.
Perhatian
bu Dewi kali ini tertuju pada Saskia si murid baru. Seperti yang sudah kami
duga, beliau pin menanyakan Saskia.
“Wah,
kelihatannya kita punya teman baru. Namanya siapa?” Tanya bu Dewi ramah.
“Nama
saya Saskia,” jawab Saskia singkat. Sepertinya dia mulai kesal dengan
pertanyaan yang seharian ditanyakan terus padanya.
“Pindahan
dari mana?” Tanya bu Dewi kemudian.
“Dari
Jakarta,” kali ini Saskia menjawab dengan senyum lebar. Sepertinya dia bangga
saat menyebutkan asalnya.
Tanpa
banyak percakapan ibu Dewi pun segera memulai pelajaran.
Di
parkiran sepeda, tampak Mitha sedang bercakap dengan Saskia. Aku segera
menghampiri mereka.
“Hai
Mitha,” sapaku.
“Hai
Rani,” sapa Mitha kembali.
“Nampaknya
kalian sudah saling kenal?” tanya Saskia.
“Oh
iya Saskia, kami berteman,” jawab Mitha.
“Sepertinya
aku harus pulang,” ucap Saskia.
“Oh
iya, hari sudah semakin terik,” jawab Mitha.
“Bagaimana
kalau kamu pulang bersamaku Mitha, nanti sepedamu biar supirku yang antar.
Bagaimana?” tawar Saskia pada Mitha.
“Wah
ntar ngerepotin?” jawab Mitha malu.
“Nggak
kok,” ucap Saskia. “Gimana mau gak?” sambungnya.
“Oke
deh,” jawab Mitha dengan senyum lebarnya.
Mereka
berdua pun pergi dari hadapanku. Dan masuk ke dalam mobil mewah yang sedari
tadi terparkir di depan gerbang sekolah. Dan tentunya itu menjadi pusat
perhatian banyak orang.
Aku
segera bergegas mengambil sepedaku dan segera menganyuhnya menuju rumah. Di
sepanjang jalan aku terus memikirkan kejadian singkat di parkiran sepeda tadi.
“Ada
apa ini sebenarnya? Kenapa Mitha tidak menyinggung sedikitpun tentang janjinya
kemarin? Lalu ‘teman’? Tidak biasanya dia memperkenalkanku dengan sebutan
‘teman’ bukan ‘sahabat’, dan yang paling kubingungkan. Kenapa Mitha tidak pamit
padaku karena ingin pulang bersama Saskia, dia seakan-akan tak menghiraukanku
tadi. Padahal setiap pulang sekolah kami selalu pulang bersama. Ada apa ini
sebenarnya?” batinku.
Aku
memilih untuk tidur lebih awal.
Keesokannya,
saat ku hendak memarkirkan sepedaku. Aku terhalang oleh kerumunan. Aku tak
tertarik untuk melihatnya. Tapi ku putuskan untuk bertanya dengan salah seorang
yang ada dikerumunan.
“Maaf
ada apa ya?” tanyaku.
“Oh
itu, sang ratu baru turun dari kereta mewahnya bersama dengan sahabat barunya,”
jawabnya.
“Oh
terimakasih,” ucapku.
Aku
masih bingung akan perkataan salah satu orang di kerumunan tadi.
“Sang
ratu? Kereta mewah? Sahabat baru?” apa maksudnya. Aku terus memikirkannya. Tapi
aku tetap tak tertarik untuk melihatnya langsung. Aku lebih memilih mencari
cara untuk memarkirkan sepedaku. Dan akhirnya aku menemukan cara itu.
Aku
segera duduk di bangku dan meluruskan kaki. Rasanya agak sakit karena terinjak
kaki seseorang saat hendak memarkirkan sepeda tadi.
“Huft…”
dengusan kesalku. Aku masih memikirkan apa yang dikatakan oleh orang itu tadi.
Akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya pada Ririn. Walaupun aku tahu
akibatnya akan dikatakan nggak update
atau semacamnya.
“Rin,
tadi kamu lihat kerumunan di depan pagar gak?” Tanyaku memulai pembicaraan.
“Lihat,
emangnya kenapa? Jangan bilang kalau kamu nggak tahu?” jawabnya dengan penuh
curiga. Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Dan dia pun menghembuskan
dengusan kesal.
“Huft…
penyakit kamu itu memang susah banget ya dihilangkan,” ucapnya kesal.
“Tadi
itu Saskia diantar pakai mobil limusin. Itulah banyak yang heboh,” sambungnya.
“Limusin
itu apaan?” tanyaku polos.
“Ya
ampun, itu aja kamu nggak tahu? Jadi apa sih yang kamu tahu? Makanya lain kali update yang lain dong jangan matematika
mulu yang diupdate,” ucapnya kembali dengan nada kesal.
“Ya
ya, gue emang gak tau apa itu limusin. Jadi intinya apa itu limusin?” Tanya ku
kembali.
“Hmm,
lo searching di google aja ya,”
jawabnya.
“Yee…
bilang aja kalau nggak tahu..!” ucapku kesal.
“Oh
ya, terus sahabat baru. Maksudnya itu apa?” Tanya ku lagi.
“Oh
itu, Saskia hari ini pergi bersama Mitha.” Jawab Ririn dengan nada yang biasa
bahkan amat biasa tak seperti biasanya.
“Ya
udah, terima kasih atas infonya yah,” ucapku.
“Iya,”
jawabnya singkat.
Di
sepanjang pelajaran aku terus memikirkan kata ‘sahabat baru’ itu. Kata itu
terngiang-ngiang di dalam benakku.
Hari
ini hari rabu, seperti biasanya aku dan Mitha akan melakukan penelitian tentang
kota Bengkulu. Dan hari ini kami jadwalkan untuk meneliti makanan khas
Bengkulu. Aku sudah menunggu di parkiran sepeda. beberapa saat kemudian
muncullah Saskia yang disusul dengan Mitha di belakangnya. Mereka menuju ke
tempatku berada.
“Hai
Mitha. Hai Saskia,” sapaku.
“Hai,”
jawab mereka berdua bersamaan.
“Kamu
belum pulang? Lagi nunggu apa?” sambung Saskia.
“Oh
aku lagi nunggu Mitha,” jawabku.
“Aku?
Emangnya ada apa?” Tanya Mitha.
“Sesuai
dengan jadwal kita, hari ini kita akan meneliti makanan khas Bengkulu. Apa kamu
sudah lupa?” ucapku.
“Oh
ya? Sepertinya aku tidak bias hari ini. Soalnya aku dan Saskia mau pergi
bersama,” jawab Mitha sambil melirik Saskia.
“Tapi
ini kan acara penting kita. Bagaimana bias kamu tak hadir,” ucapku.
“Ya
udah, gak apa-apa Mitha pergi sama Rani tapi aku boleh ikut gak?” ucap Saskia.
“Oh
tentu aja boleh!” jawab Mitha.
Aku
pun segera berkata, “tapi bukankah ini acara hanya untuk kita berdua Mitha?”
“Itu
kan dulu, sekarang udah beda. Lagian apa salahnya sih kalau Saskia ikut!” jawab
Mitha ketus.
Tanpa
diberi komando, mereka telah berlalu dari hadapanku dan mulai berjalan duluan.
Sedangkan aku tertinggal di belakang.
“Week,”
Saskia segera memuntahkan lempuk yang berada di dalam mulutnya.
“Ini
apaan? Kok gak enak banget sih!” ucap Saskia ketus.
“Kamu
gak boleh kayak gitu Saskia! Ini adalah makanan khas dari Bengkulu!” jawabku
dengan nada kesal. Aku memang sangat kesal. Berani sekali Saskia mencela
makanan khas kota kesayanganku. Dan yang lebih kukesalkan, Mitha hanya diam tak
menanggapi hal tersebut. Bahkan dia malah mempedulikan Saskia dan turut
prihatin. Untunglah kekesalan ini dapat kutahan.
Kami
pun beranjak pergi ke toko souvenir yang lainnya. Disana banyak menjual
kerajinan tangan yang bertemakan bunga Rafflesia Arnoldi, bunga khas Bengkulu.
Aku sangat mengaguminya walu aku sering melihatnya tapi aku tak pernah bosan
untuk mengaguminya.
Saskia
menampakkan wajah angkuhnya. “Bunga apaan ini? Kok jelek banget sih.!” Ucapnya.
“Hey Saskia! Kamu jangan asal hina aja ya! Ini adalah bunga khas di Bengkulu..
kamu itu orang Jakarta, jadi jangan asal hina semua yang ada di Bengkulu, kota
tercintaku!” ucapku ketus. Kali ini aku sudah tak tahan lagi dengan kelakuan
Saskia yang terus memfitnah semua yang khas di Bengkulu.
“Aku
emang orang Jakarta, dan aku gak banget tertarik dengan apa yang ada di
Bengkulu. Semuanya bagiku gak ada yang menarik,” ucap Saskia sengit. Aku hanya
diam menatap Mitha, berharap Mitha mau membantuku untuk membela Bengkulu di
hadapan orang Jakarta yang mengesalkan ini. Tetapi Mitha tak merespon apa-apa
terhadap tatapanku dan hanya terdiam, seolah dia lebih mendukung Saskia.
“Mitha
kamu tau kan harus bilang apa? Kamu tidak membantuku?” ucapku.
“Bilang
apa? Kan semua udah jelas, apa yang dikatakan oleh Saskia itu benar,” jawab
Mitha.
“Kamu
lebih mementingkan Saskia daripada aku dan Bengkulu tempat kelahiranmu?” ucapku
tak percaya.
“Memang
itu kenyataannya!” jawab Mitha ketus. Aku tak percaya persahabatan kami
berhenti disini, hanya karena seoran wanita Jakarta yang angkuh. Aku segera
berlari meninggalkan mereka berdua.
Mobil
BMW telah berhenti dihadapan Mitha
dan Saskia.
“Sekarang
kita mau pergi kemana?” Tanya Mitha pada Saskia.
“Kita?
Denger ya! Gue gak sudi punya temen orang jadul kayak kalian berdua!” ucap
saskia sengit.
“Maksud
kamu? Aku dan Rani?” Tanya Mitha.
“Iya,
siapa lagi kalau bukan kalian!” jawab Saskia dan segera berlalu dari hadapan Mitha dan masuk kedalam
mobil yang sudah menunggu.
Mitha
tak percaya dengan kalimat terakhir yang terucap dari mulut Saskia. Dia sangat
menyesal, telah membela orang yang salah. Dan tentunya salah memilih sahabat
yang tepat. Kini dia mulai sadar arti sahabat yang sebenarnya. Dan sangat
menyesal telah memustuskan persahabatannya dengan sahbat terbaik yang pernah
ada dalam hidupnya.
Mitha
pun segera melangkahkan kaki-kakinya yang terasa berat menju rumahnya.
Di
kamar, Rani menangis sejadi-jadinya. Ibu sempat mengetuk beberapa kali tapi dia
tak menghiraukannya. Dia masih sedih dan tak percaya dengan kejadian yang baru
dialaminya.
Lain
halnya dengan Mitha, dia terus memikirkan kesalahan yang telah ia perbuat,
sehingga hati sahabatnya dapat terluka karena itu. Dan dia pun mulai menyusun
beberapa rencana untuk meminta maaf kepada Rani. Dia juga sangat menyesali
semua uang telah ia perbuat selama berteman dengan Saskia. Kini ia sadar
ternyata berteman Saskia membawa dampak yang buruk bagi dirinya dan oran lain.
Dan dia pun tahu Saskia selama ini berteman dengannya bukan dengan hati dan
ikhlas. Tetapi hanya demi menunjukkan keangkuhannya dan mempermaikan hati
banyak orang.
Saat
bel pertama berbunyi maka aku pun bersiap-siap untuk pergi ke kantin bersama
Ririn. Saat tepat di depan pintu, Mitha berdiri dihadapanku. Aku pun segera
menghindar.
“Rani, tunggu aku!” ucap Mitha padaku. Aku tak
menghiraukannya dan mempercepat langkahku.
“Rani,
tunggu aku!” ucapnya kembali. Kali ini aku berthenti dan berkata,
“Ada
apa? Kamu mau membela Saskia lagi di depanku? Kayaknya gak perlu deh! Aku udah
tau! Dan nggak peduli lagi sama kalian berdua,”
“Bukan
itu, aku mau minta maaf Rani. Aku memang udah salah sama kamu dan salah dalam
memilih teman?” ucap Mitha.
“Salah
memilih teman? Maksud kamu aku?” ucapku.
“Bukan,
bukan kamu. Maksudku Saskia,” kata Mitha.
“Kamu
itu keterlaluan ya! Sekarang kamu malah jelekin Saskia di depanku, kamu
harusnya sadar udah nyakiti hati orang berkali-kali!” ucapku ketus.
“Saskia
itu bukan temanku, di berteman denganku hanya untuk menunjukkan keangkuhannya
dan menjadikan aku teman dekat alias tukang suruh2 dia. Aku juga ngaak tau
mengapa aku sampai mau melakukan hal itu. Mungkin aku terlena dengan
kepopulerannya,” ucap Mitha.
“Terserah,”
ucapku sambil berlalu dari hadapannya. Disepanjang jalan aku mulai memikirkan
perkataan Mitha tadi. ‘Apakah dia memang menyesal? Atau hanya ingin
mempermainkank?’ tanyaku dalam hati.
Sepulang
sekolah, aku melihat sepeda Mitha terpakir di parkiran sepeda. Itu menandakan
bahwa hari ini Mitha pergi dan pulang dengan sepeda. ‘Tapi mengapa? Bukankah
dia selalu pulang bersama Saskia,’ pikirku.
Malam
harinya, aku memikirkan tentang persahabatan yang telah lama kami jalin. Aku
pun memutuskan untuk memaafkan Mitha.
Keesokannnya,
giliran aku yang berada di depan pintu kelas Mitha saat jam istirahat pertama.
Seperti yang sudah kuduga, Mitha pun keluar.
“Mitha
aku memaafkanmu,” ucapku.
“Benarkah?
Syukurlah, terimakasih Rani,” ucapnya.
Akhirnya
kami pun berjalan berdua menuju kantin.
Malam
harinya, kami putuskan untuk pergi berkeliling sebentar di sekitar masjid sehabis sholat isya.
Kami pun berkeliling melihat-lihat. Terdengar
suara rintihan seseorang. Kami pun segera menghampiri asal suara tersebut. Dan
betapa terkejutnya, kami mendapati Saskia sedan menangis seorang diri.
“Saskia?
Kamu ngapain disini?” tanya Mitha.
“Aku
tersesat,” jawab Saskia.
“Tersesat?
Emangnya kamu mau kemana?” tanyaku.
“Aku
mau pulang, tapi aku bingung dimana jalannya,” jawab saskia.
“Biasanya
kamu kan dijemput?” tanya Mitha.
“Iya
tapi hari ini aku nggak dijemput, soalnya papa dan mamaku sibuk. Pak sopir yang
biasa mengantarku sedang cuti, istrinya melahirkan,” jawab Saskia.
Setelah
menanyakan alamat rumah Saskia. Kami pun mengantar Saskia pulang ke rumah.
Setelah sampai, Mitha bertanya,
“Besok
kamu pergi dan pulangnya naik apa?”
“Aku
nggak tahu,” jawab Saskia.
“Bagaimana
kalau kamu naik sepeda aja bareng kita berdua? Kamu puya sepeda kan?” ucapku.
“Hmm,
apakah boleh?” tanya Saskia.
“Tentu
saja boleh,” jawab aku dan Mitha.
“Baiklah,
terimakasih banyak ya Rani dan Mitha. Maafkan aku juga karena selama ini sangat
angkuh kepada kalian,” ucap Saskia.
“Oh
nggak apa-apa. Kami sudah memaafkanmu kok Saskia,” ucapku.
“Kalian
memang teman yang baik,” ucap saskia.
Dibawah
bintag yan beregemerlapan, kami pun memulai persahabatan dan menambah daftar
anggotanya satu yaitu Saskia.
Semenjak
kejadian itu kami sering pergi ke kios oleh-oleh bersama Saskia. Dan kini
Saskia mengakui keindahan Bengkulu dan mulai mengaguminya. Kami pun juga mulai
mengetahui apa itu arti sahabat.
Tak
lama kemudian. Aku terpilih menjadi duta budaya yan mewakili Bengkulu, kota
tercintaku.
Aku
sangat bangga dan senang menjadi seoran gadis Bengkulu. Aku tidak akan pernah
melupakannya, karena dibalik kota ini. Tersimpan beribu kisah perjalanan
hidupku.(end)
4 komentar:
nas udem amb jadi members kau,kau lagi yyo;)
Nisya, cakmano caronyo ngirim artikel ke blog orng lain?
@Afifah Khairunnisa: yoyoi fif:) am jg udh...:)
@Ujang Salju : Nisya? maksudny tadz? dk ngerti:'(
Posting Komentar