07 April 2013

Arti Sahabat

kalau bicara tentang sahabat, pastinya kalian pernah ataupun masih memilikinya. nah pada cerpen kali ini, saya menggambarkan mana sahabat yang tulus dan tidak... penasaran? langsung baca aja deh! selamat membaca..! don't forget to share and like it! semoga menarik^^

Arti Sahabat
Terik mentari yang menyengat, air yang bercucuran di wajah, semua tak ku hiraukan. Hari ini aku akan bertemu sahabatku, sahabat yang sangat kusayangi, dan kami telah berjanji untuk bertemu di taman kota pukul 12 siang, untuk itu aku harus segera cepat. Tak henti-hentinya aku mengayuh sepeda, rasa penat yang menghampiri segera kutepis dengan membayangkan senyuman dari sahabatku.
Namaku Rani, seorang wanita kelahiran Bengkulu dengan kulit sawo matang yang khas. Aku mempunyai seorang sahabat yang bernama Mitha. Mitha juga berasal dari kota Bengkulu, sama sepertiku tapi dia memiliki kulit yang putih, berbeda denganku. Bagi kami itu bukanlah sebuah masalah.
Citttt… suara rem sepedaku yang berhenti mendadak.
“Akhirnya sampai juga,” ucapku lega. Lalu kulihat jam tanganku dan ternyata sekarang sudah pukul 12.00, tapi aku belum melihat Mitha disana.
“Hmm, mungkin dia sedang di jalan,” pikirku. Dan akhirnya kuputuskan untuk menunggunya.
Waktu pun berlalu, 15 menit sudah aku menunggu Mitha, tapi dia tak kunjung datang.
“Mungkin dia sedang di jalan, sabarlah sedikit Rani,” pikirku kembali. Dan aku kembali menunggu.
“Maaf dik, anda sedang menunngu siapa?” Tanya salah seorang satpam kepadaku.
“Saya sedang menunggu teman, emangnya ada apa pak?” tanyaku kembali.
“Sekarang sudah pukul 4 sore, dari siang tadi saya melihat adik terus berada disini, saya pikir mungkin ada yang bias saya bantu?”tawar satpam itu padaku.
“Oh tidak ada pak, terimakasih,” jawabku.
“Ya sudah kalau begitu, tapi lebih baik adik cepat pulang nanti dicariin ibunya,” saran pak satpam itu.
“Baiklah pak, terimakasih sekali lagi,” jawabku lagi. Tak kusangka, aku telah menunggu Mitha selama 4 jam. Aku sudah lelah dan kuputuskan untuk pulang ke rumah.


Rasa yang lelah ini tak dapat kutahan terlalu lama, akhirnya sesampai di rumah aku segera membaringkan badan ke kasur.
“Huft, hari yang benar-benar melelahkan” ucapku. Aku mulai mengingat-ingat kejadian tadi siang. Aku tak pernah membayangkan hal ini akan terjadi. Tak seperti biasanya Mitha tak menepati janjinya. Ah sudahlah pikirku, mungkin ada sesuatu yang penting sehingga Mitha lupa akan janji pertemuan dengan sahabatnya. Aku memejamkan mata.
“Hey Rani, apakah kamu sudah tahu sekolah kita punya murid baru?” Tanya Ririn mengagetkanku.
“Hmm, belum,” jawabku sambil melirik ke sekitar.
“Ah kamu Ran, selalu aja ketinggalan informasi. Makanya update dong!” jawab Ririn kesal.
“Iya iya,” ucapku pasrah.
Hari ini aku merasa terlalu lelah untuk mencari tahu ataupun memikirkan sesuatu yang sama seperti kalian, bagiku itu hanya buang-buang waktu. Dan waktu yang berharga itu aku manfaatkan untuk membaca buku pelajaran matematika.
Semua murid sudah duduk rapi pada posisinya masing-masing. Erna sang ketua kelas segera mengomando kami teman-temannya agar siap untuk memulai pelajaran. “Bangun! Ucap salam!” seru Erna lantang. Dan kamipun mengikuti apa yang diperintahkannya. “Selamat pagi bu Siti,” seru kami bersamaan. Yah, beginilah cara kami memulai pelajaran.
Tidak lama kemudian, masuklah seorang gadis berkulit putih dan berambut hitam pekat. Seketika kelas menjadi gaduh. Bu Siti segera memberi komando agar murid-murid tetap tenang.
“Baiklah semua, kita mempunyai anggota kelas baru. Namanya Saskia dia berasal dari Jakarta,” ucap bu Siti seraya memperkenalkan murid baru tersebut.
“Ibu harap kalian semua dapat berteman baik dengan Saskia. Saskia duduk disebelah Dodi saja, silakan.” Ucap bu Siti dengan senyum ramahnya.
Saskia hanya mengangguk dan segera berlalu dari hadapan bu Siti.
Ibu Siti memulai pelajarannya. Bahasa Inggris adalah pelajaran yang tak kusukai. Aku tak tahu pasti mengapa aku tak menyukai pelajaran ini. Aku lebih memilih pelajaran matematika sebagai pelajaran terfavorit. Walau begitu, aku berusaha tetap memperhatikan ditengah rasa gelisah entah karena apa.
Bel istirahat berbunyi. Kakiku terasa berat untuk melangkah menuju kantin. Akhirnya kuputuskan untuk tetap berada di dalam kelas. Teman-teman sibuk bertanya kepada Saskia, tidak hanya dari kelasku bahkan dari kelas lain pun banyak yang dating untuk berkenalan dengan Saskia. Sepertinya mereka yang berkenalan dengan Saskia merasa bangga, karena telah berkenalan dengan orang Jakarta yang terkenal elit. Tapi itu semua tak berlaku bagiku. Aku menganggap semua orang sama.
Pelajaran terakhir pun dimulai. Wajahku tampak berserk-seri, karena pelajaran selanjutnya adalah matematika. Tidak sepertiku wajah teman-temanku tampak tak bersemangat.
Terdengar suara langkah kaki bu Dewi. Aku segera mengeluarkan buku paket dan buku tulis dari dalam tas. Erna segera berdiri dan melantangkan suaranya. Dan kamipun mengikutinya.
Perhatian bu Dewi kali ini tertuju pada Saskia si murid baru. Seperti yang sudah kami duga, beliau pin menanyakan Saskia.
“Wah, kelihatannya kita punya teman baru. Namanya siapa?” Tanya bu Dewi ramah.
“Nama saya Saskia,” jawab Saskia singkat. Sepertinya dia mulai kesal dengan pertanyaan yang seharian ditanyakan terus padanya.
“Pindahan dari mana?” Tanya bu Dewi kemudian.
“Dari Jakarta,” kali ini Saskia menjawab dengan senyum lebar. Sepertinya dia bangga saat menyebutkan asalnya.
Tanpa banyak percakapan ibu Dewi pun segera memulai pelajaran.
Di parkiran sepeda, tampak Mitha sedang bercakap dengan Saskia. Aku segera menghampiri mereka.
“Hai Mitha,” sapaku.
“Hai Rani,” sapa Mitha kembali.
“Nampaknya kalian sudah saling kenal?” tanya Saskia.
“Oh iya Saskia, kami berteman,” jawab Mitha.
“Sepertinya aku harus pulang,” ucap Saskia.
“Oh iya, hari sudah semakin terik,” jawab Mitha.
“Bagaimana kalau kamu pulang bersamaku Mitha, nanti sepedamu biar supirku yang antar. Bagaimana?” tawar Saskia pada Mitha.
“Wah ntar ngerepotin?” jawab Mitha malu.
“Nggak kok,” ucap Saskia. “Gimana mau gak?” sambungnya.
“Oke deh,” jawab Mitha dengan senyum lebarnya.
Mereka berdua pun pergi dari hadapanku. Dan masuk ke dalam mobil mewah yang sedari tadi terparkir di depan gerbang sekolah. Dan tentunya itu menjadi pusat perhatian banyak orang.
Aku segera bergegas mengambil sepedaku dan segera menganyuhnya menuju rumah. Di sepanjang jalan aku terus memikirkan kejadian singkat di parkiran sepeda tadi.
“Ada apa ini sebenarnya? Kenapa Mitha tidak menyinggung sedikitpun tentang janjinya kemarin? Lalu ‘teman’? Tidak biasanya dia memperkenalkanku dengan sebutan ‘teman’ bukan ‘sahabat’, dan yang paling kubingungkan. Kenapa Mitha tidak pamit padaku karena ingin pulang bersama Saskia, dia seakan-akan tak menghiraukanku tadi. Padahal setiap pulang sekolah kami selalu pulang bersama. Ada apa ini sebenarnya?” batinku.
Aku memilih untuk tidur lebih awal.
Keesokannya, saat ku hendak memarkirkan sepedaku. Aku terhalang oleh kerumunan. Aku tak tertarik untuk melihatnya. Tapi ku putuskan untuk bertanya dengan salah seorang yang ada dikerumunan.
“Maaf ada apa ya?” tanyaku.
“Oh itu, sang ratu baru turun dari kereta mewahnya bersama dengan sahabat barunya,” jawabnya.
“Oh terimakasih,” ucapku.
Aku masih bingung akan perkataan salah satu orang di kerumunan tadi.
“Sang ratu? Kereta mewah? Sahabat baru?” apa maksudnya. Aku terus memikirkannya. Tapi aku tetap tak tertarik untuk melihatnya langsung. Aku lebih memilih mencari cara untuk memarkirkan sepedaku. Dan akhirnya aku menemukan cara itu.
Aku segera duduk di bangku dan meluruskan kaki. Rasanya agak sakit karena terinjak kaki seseorang saat hendak memarkirkan sepeda tadi.
“Huft…” dengusan kesalku. Aku masih memikirkan apa yang dikatakan oleh orang itu tadi. Akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya pada Ririn. Walaupun aku tahu akibatnya akan dikatakan nggak update atau semacamnya.
“Rin, tadi kamu lihat kerumunan di depan pagar gak?” Tanyaku memulai pembicaraan.
“Lihat, emangnya kenapa? Jangan bilang kalau kamu nggak tahu?” jawabnya dengan penuh curiga. Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Dan dia pun menghembuskan dengusan kesal.
“Huft… penyakit kamu itu memang susah banget ya dihilangkan,” ucapnya kesal.
“Tadi itu Saskia diantar pakai mobil limusin. Itulah banyak yang heboh,” sambungnya.
“Limusin itu apaan?” tanyaku polos.
“Ya ampun, itu aja kamu nggak tahu? Jadi apa sih yang kamu tahu? Makanya lain kali update yang lain dong jangan matematika mulu yang diupdate,” ucapnya kembali dengan nada kesal.
“Ya ya, gue emang gak tau apa itu limusin. Jadi intinya apa itu limusin?” Tanya ku kembali.
“Hmm, lo searching di google aja ya,” jawabnya.
“Yee… bilang aja kalau nggak tahu..!” ucapku kesal.
“Oh ya, terus sahabat baru. Maksudnya itu apa?” Tanya ku lagi.
“Oh itu, Saskia hari ini pergi bersama Mitha.” Jawab Ririn dengan nada yang biasa bahkan amat biasa tak seperti biasanya.
“Ya udah, terima kasih atas infonya yah,” ucapku.
“Iya,” jawabnya singkat.
Di sepanjang pelajaran aku terus memikirkan kata ‘sahabat baru’ itu. Kata itu terngiang-ngiang di dalam benakku.
Hari ini hari rabu, seperti biasanya aku dan Mitha akan melakukan penelitian tentang kota Bengkulu. Dan hari ini kami jadwalkan untuk meneliti makanan khas Bengkulu. Aku sudah menunggu di parkiran sepeda. beberapa saat kemudian muncullah Saskia yang disusul dengan Mitha di belakangnya. Mereka menuju ke tempatku berada.
“Hai Mitha. Hai Saskia,” sapaku.
“Hai,” jawab mereka berdua bersamaan.
“Kamu belum pulang? Lagi nunggu apa?” sambung Saskia.
“Oh aku lagi nunggu Mitha,” jawabku.
“Aku? Emangnya ada apa?” Tanya Mitha.
“Sesuai dengan jadwal kita, hari ini kita akan meneliti makanan khas Bengkulu. Apa kamu sudah lupa?” ucapku.
“Oh ya? Sepertinya aku tidak bias hari ini. Soalnya aku dan Saskia mau pergi bersama,” jawab Mitha sambil melirik Saskia.
“Tapi ini kan acara penting kita. Bagaimana bias kamu tak hadir,” ucapku.
“Ya udah, gak apa-apa Mitha pergi sama Rani tapi aku boleh ikut gak?” ucap Saskia.
“Oh tentu aja boleh!” jawab Mitha.
Aku pun segera berkata, “tapi bukankah ini acara hanya untuk kita berdua Mitha?”
“Itu kan dulu, sekarang udah beda. Lagian apa salahnya sih kalau Saskia ikut!” jawab Mitha ketus.
Tanpa diberi komando, mereka telah berlalu dari hadapanku dan mulai berjalan duluan. Sedangkan aku tertinggal di belakang.
“Week,” Saskia segera memuntahkan lempuk yang berada di dalam mulutnya.
“Ini apaan? Kok gak enak banget sih!” ucap Saskia ketus.
“Kamu gak boleh kayak gitu Saskia! Ini adalah makanan khas dari Bengkulu!” jawabku dengan nada kesal. Aku memang sangat kesal. Berani sekali Saskia mencela makanan khas kota kesayanganku. Dan yang lebih kukesalkan, Mitha hanya diam tak menanggapi hal tersebut. Bahkan dia malah mempedulikan Saskia dan turut prihatin. Untunglah kekesalan ini dapat kutahan.
Kami pun beranjak pergi ke toko souvenir yang lainnya. Disana banyak menjual kerajinan tangan yang bertemakan bunga Rafflesia Arnoldi, bunga khas Bengkulu. Aku sangat mengaguminya walu aku sering melihatnya tapi aku tak pernah bosan untuk mengaguminya.
Saskia menampakkan wajah angkuhnya. “Bunga apaan ini? Kok jelek banget sih.!” Ucapnya. “Hey Saskia! Kamu jangan asal hina aja ya! Ini adalah bunga khas di Bengkulu.. kamu itu orang Jakarta, jadi jangan asal hina semua yang ada di Bengkulu, kota tercintaku!” ucapku ketus. Kali ini aku sudah tak tahan lagi dengan kelakuan Saskia yang terus memfitnah semua yang khas di Bengkulu.
“Aku emang orang Jakarta, dan aku gak banget tertarik dengan apa yang ada di Bengkulu. Semuanya bagiku gak ada yang menarik,” ucap Saskia sengit. Aku hanya diam menatap Mitha, berharap Mitha mau membantuku untuk membela Bengkulu di hadapan orang Jakarta yang mengesalkan ini. Tetapi Mitha tak merespon apa-apa terhadap tatapanku dan hanya terdiam, seolah dia lebih mendukung Saskia.
“Mitha kamu tau kan harus bilang apa? Kamu tidak membantuku?” ucapku.
“Bilang apa? Kan semua udah jelas, apa yang dikatakan oleh Saskia itu benar,” jawab Mitha.
“Kamu lebih mementingkan Saskia daripada aku dan Bengkulu tempat kelahiranmu?” ucapku tak percaya.
“Memang itu kenyataannya!” jawab Mitha ketus. Aku tak percaya persahabatan kami berhenti disini, hanya karena seoran wanita Jakarta yang angkuh. Aku segera berlari meninggalkan mereka berdua.
Mobil BMW telah berhenti dihadapan Mitha dan Saskia.
“Sekarang kita mau pergi kemana?” Tanya Mitha pada Saskia.
“Kita? Denger ya! Gue gak sudi punya temen orang jadul kayak kalian berdua!” ucap saskia sengit.
“Maksud kamu? Aku dan Rani?” Tanya Mitha.
“Iya, siapa lagi kalau bukan kalian!” jawab Saskia dan segera  berlalu dari hadapan Mitha dan masuk kedalam mobil yang sudah menunggu.
Mitha tak percaya dengan kalimat terakhir yang terucap dari mulut Saskia. Dia sangat menyesal, telah membela orang yang salah. Dan tentunya salah memilih sahabat yang tepat. Kini dia mulai sadar arti sahabat yang sebenarnya. Dan sangat menyesal telah memustuskan persahabatannya dengan sahbat terbaik yang pernah ada dalam hidupnya.
Mitha pun segera melangkahkan kaki-kakinya yang terasa berat menju rumahnya.
Di kamar, Rani menangis sejadi-jadinya. Ibu sempat mengetuk beberapa kali tapi dia tak menghiraukannya. Dia masih sedih dan tak percaya dengan kejadian yang baru dialaminya.
Lain halnya dengan Mitha, dia terus memikirkan kesalahan yang telah ia perbuat, sehingga hati sahabatnya dapat terluka karena itu. Dan dia pun mulai menyusun beberapa rencana untuk meminta maaf kepada Rani. Dia juga sangat menyesali semua uang telah ia perbuat selama berteman dengan Saskia. Kini ia sadar ternyata berteman Saskia membawa dampak yang buruk bagi dirinya dan oran lain. Dan dia pun tahu Saskia selama ini berteman dengannya bukan dengan hati dan ikhlas. Tetapi hanya demi menunjukkan keangkuhannya dan mempermaikan hati banyak orang.
Saat bel pertama berbunyi maka aku pun bersiap-siap untuk pergi ke kantin bersama Ririn. Saat tepat di depan pintu, Mitha berdiri dihadapanku. Aku pun segera menghindar.
“Rani,  tunggu aku!” ucap Mitha padaku. Aku tak menghiraukannya dan mempercepat langkahku.
“Rani, tunggu aku!” ucapnya kembali. Kali ini aku berthenti dan berkata,
“Ada apa? Kamu mau membela Saskia lagi di depanku? Kayaknya gak perlu deh! Aku udah tau! Dan nggak peduli lagi sama kalian berdua,”
“Bukan itu, aku mau minta maaf Rani. Aku memang udah salah sama kamu dan salah dalam memilih teman?” ucap Mitha.
“Salah memilih teman? Maksud kamu aku?” ucapku.
“Bukan, bukan kamu. Maksudku Saskia,” kata Mitha.
“Kamu itu keterlaluan ya! Sekarang kamu malah jelekin Saskia di depanku, kamu harusnya sadar udah nyakiti hati orang berkali-kali!” ucapku ketus.
“Saskia itu bukan temanku, di berteman denganku hanya untuk menunjukkan keangkuhannya dan menjadikan aku teman dekat alias tukang suruh2 dia. Aku juga ngaak tau mengapa aku sampai mau melakukan hal itu. Mungkin aku terlena dengan kepopulerannya,” ucap Mitha.
“Terserah,” ucapku sambil berlalu dari hadapannya. Disepanjang jalan aku mulai memikirkan perkataan Mitha tadi. ‘Apakah dia memang menyesal? Atau hanya ingin mempermainkank?’ tanyaku dalam hati.
Sepulang sekolah, aku melihat sepeda Mitha terpakir di parkiran sepeda. Itu menandakan bahwa hari ini Mitha pergi dan pulang dengan sepeda. ‘Tapi mengapa? Bukankah dia selalu pulang bersama Saskia,’ pikirku.
Malam harinya, aku memikirkan tentang persahabatan yang telah lama kami jalin. Aku pun memutuskan untuk memaafkan Mitha.
Keesokannnya, giliran aku yang berada di depan pintu kelas Mitha saat jam istirahat pertama. Seperti yang sudah kuduga, Mitha pun keluar.
“Mitha aku memaafkanmu,” ucapku.
“Benarkah? Syukurlah, terimakasih Rani,” ucapnya.
Akhirnya kami pun berjalan berdua menuju kantin.
Malam harinya, kami putuskan untuk pergi berkeliling sebentar di  sekitar masjid sehabis sholat isya.
 Kami pun berkeliling melihat-lihat. Terdengar suara rintihan seseorang. Kami pun segera menghampiri asal suara tersebut. Dan betapa terkejutnya, kami mendapati Saskia sedan menangis seorang diri.
“Saskia? Kamu ngapain disini?” tanya Mitha.
“Aku tersesat,” jawab Saskia.
“Tersesat? Emangnya kamu mau kemana?” tanyaku.
“Aku mau pulang, tapi aku bingung dimana jalannya,” jawab saskia.
“Biasanya kamu kan dijemput?” tanya Mitha.
“Iya tapi hari ini aku nggak dijemput, soalnya papa dan mamaku sibuk. Pak sopir yang biasa mengantarku sedang cuti, istrinya melahirkan,” jawab Saskia.
Setelah menanyakan alamat rumah Saskia. Kami pun mengantar Saskia pulang ke rumah. Setelah sampai, Mitha bertanya,
“Besok kamu pergi dan pulangnya naik apa?”
“Aku nggak tahu,” jawab Saskia.
“Bagaimana kalau kamu naik sepeda aja bareng kita berdua? Kamu puya sepeda kan?” ucapku.
“Hmm, apakah boleh?” tanya Saskia.
“Tentu saja boleh,” jawab aku dan Mitha.
“Baiklah, terimakasih banyak ya Rani dan Mitha. Maafkan aku juga karena selama ini sangat angkuh kepada kalian,” ucap Saskia.
“Oh nggak apa-apa. Kami sudah memaafkanmu kok Saskia,” ucapku.
“Kalian memang teman yang baik,” ucap saskia.
Dibawah bintag yan beregemerlapan, kami pun memulai persahabatan dan menambah daftar anggotanya satu yaitu Saskia.
Semenjak kejadian itu kami sering pergi ke kios oleh-oleh bersama Saskia. Dan kini Saskia mengakui keindahan Bengkulu dan mulai mengaguminya. Kami pun juga mulai mengetahui apa itu arti sahabat.
Tak lama kemudian. Aku terpilih menjadi duta budaya yan mewakili Bengkulu, kota tercintaku.
Aku sangat bangga dan senang menjadi seoran gadis Bengkulu. Aku tidak akan pernah melupakannya, karena dibalik kota ini. Tersimpan beribu kisah perjalanan hidupku.(end)

4 komentar:

Unknown mengatakan...

nas udem amb jadi members kau,kau lagi yyo;)

Unknown mengatakan...

Nisya, cakmano caronyo ngirim artikel ke blog orng lain?

Nasyaa mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Nasyaa mengatakan...

@Afifah Khairunnisa: yoyoi fif:) am jg udh...:)

@Ujang Salju : Nisya? maksudny tadz? dk ngerti:'(